Foto: Ilustrasi Geunteut
Liputan6.com, Aceh - "Bek tubit watéé maghréb, enteuk di cok lhéé geunteut!". Bagi anak-anak Aceh yang hidup di era 90an, kalimat tersebut tentu sudah tidak asing lagi.
Kalimat tersebut menjadi warning yang cukup mujarab bagi orangtua yang tidak ingin anaknya kelayapan menjelang malam tiba. Adapun kalimat tersebut artinya, "Jangan keluar saat maghrib, nanti diambil (diculik) oleh geuntuet."
Sebagai catatan, geunteut merupakan penyebutan khusus masyarakat tradisional Aceh terhadap sosok makhluk gaib yang diyakini memiliki wujud menyeramkan, berperawakan tinggi, berambut keriting, serta memiliki kaki yang sangat panjang. Menurut cerita tinggi mahluk ini mencapai pohon kelapa. Penyebutan geunteut tidak terlepas dari arti geunteut sendiri, yang dalam kosakata Aceh bersinonim dengan kata 'panyang' atau 'panjang/tinggi'.
Sosok geunteut dikenal dapat berlari secepat angin. Ia sering menampakkan wujudnya pada malam hari. Mahluk ini terkadang ditemukan sedang menenteng priuk atau kanot geunteut. Menurut kisah, barangsiapa dapat mengambil priuk tersebut, dapat memakan nasi abadi yang ada didalamnya.
Sosok geunteut dipercaya suka menculik anak-anak. Konon, anak yang diculik oleh geunteut awalnya akan berhalusinasi sedang berada pada satu tempat yang membuat mereka begitu nyaman. Ketika sadar mereka menemukan dirinya berada di suatu tempat yang tidak dikenalinya.
Tak lama kemudian, ia akan merasa rambutnya sedang diraba-raba oleh jari-jari kurus yang mengerikan itu. Karena itu, para orangtua terdahulu sering mengingatkan agar anaknya senantiasa meraba-raba rambutnya saat sedang berjalan sendirian pada malam hari. Setelah itu, anak-anak tersebut akan dibawa ke tengah rimbunan bambu besar, (peuredeu trieng: Bahasa Aceh) atau ke atas pohon besar seperti Ketapang.
Menurut cerita, beberapa dari anak-anak itu akan dimakan hidup-hidup atau ditinggalkan begitu saja hingga akhirnya ditemukan dalam keadaan linglung oleh orang sekampung yang sudah berhari-hari mencari anak tersebut. Banyak di antara mereka sakit setelah diculik geunteut. Makhluk gaib ini juga sering menampakkan dirinya kepada pejalan kaki yang sedang melewati jalur sepi dan gelap.
Hal ini pernah dialami oleh Sudirman (30), lelaki asal Suak Timah, yang menetap di Desa Persiapan Peunaga Baro, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh. Suatu malam pada tahun 2000an, Sudirman yang saat itu baru dari rumah saudara pulang melewati jalan yang ada di kawasan pinggir hutan di desanya.
Di tengah perjalanan ia penasaran dengan sosok kecil menyerupai sejenis mahluk yang sedang berdiri di depannya. Wajah mahluk itu tidak berbentuk, namun memiliki taring. Semakin dilihat, sosok tersebut semakin tinggi. Saking tingginya, sampai-sampai Sudirman mendongakkan kepala. Salah satu ciri khas geunteut, mahluk ini akan terlihat semakin tinggi jika dilihat ke atas, sebaliknya, ia juga akan mengecil jika dilihat ke bawah.
"Saat itu, saya ingat mengenai cerita hantu yang diceritakan ibu dan nenek soal geunteut," kisah Sudirman, kepada Liputan6.com, Rabu (17/10/2018). Sadar akan sosok yang ada di depannya, Sudirman mengambil langkah seribu.
Cerita serupa dialami Dela Safrianeldy (35). Kejadian itu sekitar tahun 1996 saat dia masih berada di bangku sekolah dasar. Saat itu, Dela bermalam di rumah temannya di Desa Pasie Ujong Kalak, Meulaboh, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat.
"Niatnya sih mau kencing di antara pohon kelapa dekat laut saat itu. Pas lagi kencing, tampak ada kayak asap hitam mengepul menyerupai makhluk apa gitu. Kok aneh, lama-lama makin dilihat makin tinggi ajamahluknya. Saya enggak jadi pipis, saya tahu kalau itu geuntut," tutur Dela.
Selain menjadi momok yang sering dituturkan secara oral oleh para orangtua terdahulu kepada anaknya, didalam masyarakat Aceh, penyebutan geuntut terdapat pula pada permainan tradisional yang dikenal dengan permainan geunteut.
Permainan ini serupa permainan egrang di Pulau Jawa. Permainan geunteut memanfaatkan batang bambu sebagai bahan utamanya. Batang bambu dibuat sedemikian rupa sehingga bisa dinaiki. Permainan ini memanfaatkan keseimbangan badan pada pijakan kaki yang dilekatkan pada batang bambu tersebut.
Dulu, anak-anak di Aceh suka memainkan geunteut saat sore hari tiba. Yang menaiki geunteut akan tampak lebih tinggi. Konon, geunteut datang mendatangi mereka yang memainkan permainan ini pada pada saat maghrib tiba.
Sebagai catatan, di Aceh terdapat desa bernama Tengoh Geunteut yang berada di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Namun, hingga saat ini tidak ada yang mengait-ngaitkan nama desa tersebut dengan sosok mahluk yang dikenal gemar menculik anak-anak ini.
Liputan6.com, Aceh - "Bek tubit watéé maghréb, enteuk di cok lhéé geunteut!". Bagi anak-anak Aceh yang hidup di era 90an, kalimat tersebut tentu sudah tidak asing lagi.
Kalimat tersebut menjadi warning yang cukup mujarab bagi orangtua yang tidak ingin anaknya kelayapan menjelang malam tiba. Adapun kalimat tersebut artinya, "Jangan keluar saat maghrib, nanti diambil (diculik) oleh geuntuet."
Sebagai catatan, geunteut merupakan penyebutan khusus masyarakat tradisional Aceh terhadap sosok makhluk gaib yang diyakini memiliki wujud menyeramkan, berperawakan tinggi, berambut keriting, serta memiliki kaki yang sangat panjang. Menurut cerita tinggi mahluk ini mencapai pohon kelapa. Penyebutan geunteut tidak terlepas dari arti geunteut sendiri, yang dalam kosakata Aceh bersinonim dengan kata 'panyang' atau 'panjang/tinggi'.
Sosok geunteut dikenal dapat berlari secepat angin. Ia sering menampakkan wujudnya pada malam hari. Mahluk ini terkadang ditemukan sedang menenteng priuk atau kanot geunteut. Menurut kisah, barangsiapa dapat mengambil priuk tersebut, dapat memakan nasi abadi yang ada didalamnya.
Sosok geunteut dipercaya suka menculik anak-anak. Konon, anak yang diculik oleh geunteut awalnya akan berhalusinasi sedang berada pada satu tempat yang membuat mereka begitu nyaman. Ketika sadar mereka menemukan dirinya berada di suatu tempat yang tidak dikenalinya.
Tak lama kemudian, ia akan merasa rambutnya sedang diraba-raba oleh jari-jari kurus yang mengerikan itu. Karena itu, para orangtua terdahulu sering mengingatkan agar anaknya senantiasa meraba-raba rambutnya saat sedang berjalan sendirian pada malam hari. Setelah itu, anak-anak tersebut akan dibawa ke tengah rimbunan bambu besar, (peuredeu trieng: Bahasa Aceh) atau ke atas pohon besar seperti Ketapang.
Menurut cerita, beberapa dari anak-anak itu akan dimakan hidup-hidup atau ditinggalkan begitu saja hingga akhirnya ditemukan dalam keadaan linglung oleh orang sekampung yang sudah berhari-hari mencari anak tersebut. Banyak di antara mereka sakit setelah diculik geunteut. Makhluk gaib ini juga sering menampakkan dirinya kepada pejalan kaki yang sedang melewati jalur sepi dan gelap.
Hal ini pernah dialami oleh Sudirman (30), lelaki asal Suak Timah, yang menetap di Desa Persiapan Peunaga Baro, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh. Suatu malam pada tahun 2000an, Sudirman yang saat itu baru dari rumah saudara pulang melewati jalan yang ada di kawasan pinggir hutan di desanya.
Di tengah perjalanan ia penasaran dengan sosok kecil menyerupai sejenis mahluk yang sedang berdiri di depannya. Wajah mahluk itu tidak berbentuk, namun memiliki taring. Semakin dilihat, sosok tersebut semakin tinggi. Saking tingginya, sampai-sampai Sudirman mendongakkan kepala. Salah satu ciri khas geunteut, mahluk ini akan terlihat semakin tinggi jika dilihat ke atas, sebaliknya, ia juga akan mengecil jika dilihat ke bawah.
"Saat itu, saya ingat mengenai cerita hantu yang diceritakan ibu dan nenek soal geunteut," kisah Sudirman, kepada Liputan6.com, Rabu (17/10/2018). Sadar akan sosok yang ada di depannya, Sudirman mengambil langkah seribu.
Cerita serupa dialami Dela Safrianeldy (35). Kejadian itu sekitar tahun 1996 saat dia masih berada di bangku sekolah dasar. Saat itu, Dela bermalam di rumah temannya di Desa Pasie Ujong Kalak, Meulaboh, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat.
"Niatnya sih mau kencing di antara pohon kelapa dekat laut saat itu. Pas lagi kencing, tampak ada kayak asap hitam mengepul menyerupai makhluk apa gitu. Kok aneh, lama-lama makin dilihat makin tinggi ajamahluknya. Saya enggak jadi pipis, saya tahu kalau itu geuntut," tutur Dela.
Selain menjadi momok yang sering dituturkan secara oral oleh para orangtua terdahulu kepada anaknya, didalam masyarakat Aceh, penyebutan geuntut terdapat pula pada permainan tradisional yang dikenal dengan permainan geunteut.
Permainan ini serupa permainan egrang di Pulau Jawa. Permainan geunteut memanfaatkan batang bambu sebagai bahan utamanya. Batang bambu dibuat sedemikian rupa sehingga bisa dinaiki. Permainan ini memanfaatkan keseimbangan badan pada pijakan kaki yang dilekatkan pada batang bambu tersebut.
Dulu, anak-anak di Aceh suka memainkan geunteut saat sore hari tiba. Yang menaiki geunteut akan tampak lebih tinggi. Konon, geunteut datang mendatangi mereka yang memainkan permainan ini pada pada saat maghrib tiba.
Sebagai catatan, di Aceh terdapat desa bernama Tengoh Geunteut yang berada di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Namun, hingga saat ini tidak ada yang mengait-ngaitkan nama desa tersebut dengan sosok mahluk yang dikenal gemar menculik anak-anak ini.
Kendati menjadi momok yang menakutkan bagi anak-anak, diakui maupun tidak, legenda geunteut fungsional dalam melestarikan cagar kearifan lokal masyarakat Aceh. Maghrib, bagi negeri berjuluk Serambi Mekkah tersebut menjadi waktu sakral, khususnya untuk diisi dengan ibadah dan hal berfaedah lainnya.
Pada saat itu, anak-anak di Aceh dididik agar berdiam di rumah atau mengikuti orangtuanya ke meunasah (surau) untuk beribadah, dilanjutkan dengan mengaji. Selepas maghrib juga menjadi momen dimana keluarga berkumpul dan melihat sejauhmana perkembangan si anak.
Maka tidak berlebihan jika geunteut dengan berbagai kisah seram yang mengiringinya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya masyarakat Aceh dalam membentuk pribadi dan generasi yang sadar akan nilai-nilai dan norma serta adat istiadat yang berlaku di Aceh.
Namun, seiring perkembangan zaman, serta progress teknologi yang begitu masif, urban legend sejenis geunteut sudah jarang dituturkan. Pelan-pelan, ia mulai menghilang dibalik hiruk pikuk budaya global. Tidak terdengar lagi ada orangtua yang mewanti-wanti anaknya "Bek tubit watéé maghréb, enteuk di cok lhéé geunteut!".
Pada saat itu, anak-anak di Aceh dididik agar berdiam di rumah atau mengikuti orangtuanya ke meunasah (surau) untuk beribadah, dilanjutkan dengan mengaji. Selepas maghrib juga menjadi momen dimana keluarga berkumpul dan melihat sejauhmana perkembangan si anak.
Maka tidak berlebihan jika geunteut dengan berbagai kisah seram yang mengiringinya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya masyarakat Aceh dalam membentuk pribadi dan generasi yang sadar akan nilai-nilai dan norma serta adat istiadat yang berlaku di Aceh.
Namun, seiring perkembangan zaman, serta progress teknologi yang begitu masif, urban legend sejenis geunteut sudah jarang dituturkan. Pelan-pelan, ia mulai menghilang dibalik hiruk pikuk budaya global. Tidak terdengar lagi ada orangtua yang mewanti-wanti anaknya "Bek tubit watéé maghréb, enteuk di cok lhéé geunteut!".
Sumber : https://www.liputan6.com/regional/read/3669960/misteri-geunteut-yang-hilang-tergerus-zaman
Komentar
Posting Komentar