BEBERAPA motor sejak sore hari sudah terpakir di kawasan Desa Tarunajaya yang berbatasan langsung dengan bendungan Jatigede. Rerata para maniak mancing, sengaja datang sore hari karena konon ikan lebih banyak ke pinggir.
Ada beberapa lapak pemancingan yang terbuat dari bambu yang disusun rapi dengan memiliki atap, masyarakat di Darmaraja menyebutnya sebagai rakit.
Rakit-rakit itu memang tidak melaju seperti halnya, rakit yang digunakan untuk alat transportasi di sungai. Rakit di sini hanya dipergunakan untuk berteduh.
Iman misalnya, warga Tanjungsari ini memang sengaja datang dengan sejumlah rekannya ke kawasan yang dulunya eks Desa Cibogo. “Sebenarnya bukan hanya ingin memancing saja, kebetulan di sini dulu tempat orangtua saya tinggal. Jadi ada kenangan manis,” paparnya.
Hal sama juga dikatakan Hadi Barkah, dirinya kini dapat melihat kembali rumahnya yang beberapa waktu lalu tenggelam. “Sudah dapat kelihatan. Bahkan tidak menutup kemungkinan Muharaman nanti, bisa di sekitar makam Cipeueut,” kata Hadi Barkah.
Warga lainnya yang melihat langsung desanya yang kembali muncul Wara, 46. Pada sejumlah pewarta dia menyebutkan tak menyangka jika dapat kembali melihat lokasi rumahnya. Sayangnya kondisi Jatigede justru telah membuatnya secara ekonomi berpengaruh.
Sambil menunjuk lokasi rumahnya. Dia menyebutkan jika dulu rumahnya itu berupa rumah permanen, komplit dengan teras halaman. “Pokonya bagus lah, menurut standar di kampung saya saat itu. Tapi kalau sekarang mah saya pakai bilik, boro-boro wc, mandinya di tempat orang, ramai-ramai,” ungkapnya di lokasi eks desa CIpaku, Sumedang, Jumat (31/8).
Nasibnya memang belum beruntung, dia pun saat dijumpai tengah mengumpulkan sejumlah kayu bakar. Kayu bakar itu merupakan bekas pepohonan yang mengering yang memang ditinggalkan pemiliknya yang terpaksa pindah. “Ya beginilah nasib kami, gas kan sekarang mahal. Sekarang pakai hawu (tungku) saja di rumah,” ungkapnya.
Tak hanya soal rumahnya yang hilang. Pekerjaannya pun juga hilang, jika dulu diakui dia, memiliki beberapa bidang sawah. Namun sekarang sawah-sawah itu sudah tenggelam, padahal diakuinya sawah-sawah itu sedikit banyak bermanfaat untuk menghidupi keluarganya sebelum desanya ditenggelamkan Waduk Jatigede.
”Sekarang beras juga mesti beli, padahal dulu saya malah jual ke orang-orang. Sekarang kerja pun serabutan, kalau dibilang susah, ya susah banget hidup saya,” sambungnya dengan nada sedih.
Pria yang saat ini kuli serabutan di Pasar itu pun menyebutkan sempat mencoba peruntungan menjadi nelayan. Sayangnya, hal itu tak mudah seperti yang dibayangkan pemerintah. Terlebih, air di waduk Jatigede sering menyusut saat kemarau tiba.
Senada dikatakan Ade, dia menyebutkan surutnya air Jatigede memang sangat berpengaruh terutama bagi para pemancing. “Sekarang memang sedikit yang datang ke sini, mau lihat apa? Airnya juga surut,” jelasnya.
Pengelola kawasan wisata Pesona Jatigede (PJG), Taufik Hidayat, mengku memang terkena imbas dari susutnya air Jatigede. Saat ini kawasan PJG yang diandalkan, sudah berubah jadi hamparan sawah. “Masyarakat sudah kembali menanam padi, mungkin lumayan sebelum kembali digenang,” kata Taufik.
Namun, dari sekian banyak narasumber Jabar Ekspres belum ada satupun yang memberikan penjelasan kenapa air di kawasan itu surut hingga lebih dari 13 meter.(*/ign)
Selengkapnya : Klik Disini
Komentar
Posting Komentar