Peserta Kirab Budaya Pajang melintas di jalan kampung, Minggu (5/8 - 2018). Ada yang unik di kirab ini, yaitu satu kuda tidak dinaiki tapi dipayungi sepanjang perjalanan kirab.
Solopos.com, SOLO - Kelurahan Laweyan, Kecamatan Laweyan, Kota Solo mengadakan Kirab Budaya Lelana Laladan Pajang Hadiwijaya, Minggu (5/8/2018). Salah satu peserta kirab adalah kuda yang dipayungi. Ternyata itu menggambarkan kuda yang ditunggangi Sultan Hadiwijaya.
Masyarakat setempat tak berani memfigurkan Sultan Hadiwijaya. Pada kirab itu, Lurah Pajang, Agung Budiyanto, yang berperan sebagai Suba Manggala atau pemimpin dengan gagah menaiki kuda. Meski demikian, tali kekang kuda masih dibawa oleh sang pawang. Dia mengenakan kemeja lurik lengan panjang dipadu celana pendek di bawah lutut berwarna hitam dengan ornamen rajutan berwarna emas. Kain jarit terlilir di perutnya. Tak lupa, sebuah belangkon hitam di kepala dan sebuah keris terselip di pinggangnya.
Kirab itu diikuti sekitar 800 peserta. Kirab Budaya bertema Lelana Laladan Pajang Hadiwijaya baru kali pertama diselenggarakan di Kelurahan Laweyan. Tak ada persiapan khusus agar bisa mengendarai kuda. "Enggak ada latihan. Sebenarnya saya tidak ada rencana naik kuda. Tapi ya berusaha," ujarnya saat berbincang dengan solopos.com, sebelum kirab dimulai, Minggu.
Rute kirab tersebut diawali dari Lapangan Jegon Pajang. Barisan awal adalah barisan pembawa banner bertuliskan "Kirab Budaya Lelono Laladan Pajang Hadiwijaya". Mereka diikuti pasuka reksa praja yang mengenakan seragam warna merah ala keraton. Di belakangnya, Agung sang lurah. Ada pula prajurit yang membawa bendera.
Di belakangnya terdapat satu kuda yang tak dinaiki siapa pun. Tetapi,kuda itu dipayungi. Hal itu dilakukan karena panitia tak berani memfigurkan Sultan Hadiwijaya. Peserta lainnya ada yang memakai baju ala tokoh pewayangan punakawan, berkostum ala Solo Batik Carnival, pakaian tempo dulu, dan membawa wayang Semar berukuran raksasa dengan tinggi sekitar tiga meter. Ada pula pertunjukan reog ponorogo dan peserta yang mengendarai kereta kuda.
Agung Budiyanto menjelaskan nama kirab dipilih karena mengingat sejarah Sultan Hadiwiya yang pada waktu itu sering turun ke masyarakat. Sang sultan melakukan lelana laladan di seluruh Pajang. "Kami menampilkan seluruh potensi dan budaya di Pajang. Pesertanya 800 orang ada. Ini event pertama," terangnya.
Dia berharap pelaksanaan kirab sejenis pada tahun mendatang bisa menampilkan seluruh potensi yang ada di Pajang. Kali ini, panitia baru fokus pada potensi budaya setempat. "Kami ingin menunjukkan Mandalika Pajang. Mandalika itu dari kata mandala yang artinya lingkaran, dan ika yang artinya satu. Maka mandalika adalah satu kesatuan utuh Pajang. Semoga kegiatan semacam ini bisa memupuk gotong royong dalam keberagaman yang kental di Pajang," tuturnya. Sebelum berangkat, panitia pengadakan prosesi potong tumpeng yang dilakukan Kepala Dinas Pariwisata Solo, Hasta Gunawan.
Masyarakat setempat tak berani memfigurkan Sultan Hadiwijaya. Pada kirab itu, Lurah Pajang, Agung Budiyanto, yang berperan sebagai Suba Manggala atau pemimpin dengan gagah menaiki kuda. Meski demikian, tali kekang kuda masih dibawa oleh sang pawang. Dia mengenakan kemeja lurik lengan panjang dipadu celana pendek di bawah lutut berwarna hitam dengan ornamen rajutan berwarna emas. Kain jarit terlilir di perutnya. Tak lupa, sebuah belangkon hitam di kepala dan sebuah keris terselip di pinggangnya.
Kirab itu diikuti sekitar 800 peserta. Kirab Budaya bertema Lelana Laladan Pajang Hadiwijaya baru kali pertama diselenggarakan di Kelurahan Laweyan. Tak ada persiapan khusus agar bisa mengendarai kuda. "Enggak ada latihan. Sebenarnya saya tidak ada rencana naik kuda. Tapi ya berusaha," ujarnya saat berbincang dengan solopos.com, sebelum kirab dimulai, Minggu.
Rute kirab tersebut diawali dari Lapangan Jegon Pajang. Barisan awal adalah barisan pembawa banner bertuliskan "Kirab Budaya Lelono Laladan Pajang Hadiwijaya". Mereka diikuti pasuka reksa praja yang mengenakan seragam warna merah ala keraton. Di belakangnya, Agung sang lurah. Ada pula prajurit yang membawa bendera.
Di belakangnya terdapat satu kuda yang tak dinaiki siapa pun. Tetapi,kuda itu dipayungi. Hal itu dilakukan karena panitia tak berani memfigurkan Sultan Hadiwijaya. Peserta lainnya ada yang memakai baju ala tokoh pewayangan punakawan, berkostum ala Solo Batik Carnival, pakaian tempo dulu, dan membawa wayang Semar berukuran raksasa dengan tinggi sekitar tiga meter. Ada pula pertunjukan reog ponorogo dan peserta yang mengendarai kereta kuda.
Agung Budiyanto menjelaskan nama kirab dipilih karena mengingat sejarah Sultan Hadiwiya yang pada waktu itu sering turun ke masyarakat. Sang sultan melakukan lelana laladan di seluruh Pajang. "Kami menampilkan seluruh potensi dan budaya di Pajang. Pesertanya 800 orang ada. Ini event pertama," terangnya.
Dia berharap pelaksanaan kirab sejenis pada tahun mendatang bisa menampilkan seluruh potensi yang ada di Pajang. Kali ini, panitia baru fokus pada potensi budaya setempat. "Kami ingin menunjukkan Mandalika Pajang. Mandalika itu dari kata mandala yang artinya lingkaran, dan ika yang artinya satu. Maka mandalika adalah satu kesatuan utuh Pajang. Semoga kegiatan semacam ini bisa memupuk gotong royong dalam keberagaman yang kental di Pajang," tuturnya. Sebelum berangkat, panitia pengadakan prosesi potong tumpeng yang dilakukan Kepala Dinas Pariwisata Solo, Hasta Gunawan.
Komentar
Posting Komentar