VIVA – Jika berkunjung ke Kota Pekalongan, Jawa Tengah, jangan lupa mampir ke sebuah bangunan bersejarah yang berada di Desa Kertajaya, Kecamatan Buaran. Bangunan itu dijuluki Langgar Markas Nurul Janah.
Bangunan sangat menarik untuk pengetahuan sejarah, sebab tercatat pernah menjadi saksi bisu betapa bengisnya Belanda, ketika melakukan agresi militer di daerah Pantura Jawa. Bangunan tua yang kini difungsikan sebagai tempat ibadah umat Islam itu, juga masih meninggalkan duka mendalam masa silam.
Sepintas, Musala Nurul Jannah, tak beda dengan musala pada umumnya. Namun siapa sangka, ketika ditelisik lebih jauh, bangunan berarsitektur Jawa kuno ini, kental akan tragedi tragis masa lalu. Usut punya usut, bangunan ini dulunya merupakan bekas hunian tentara khusus Belanda.
Memang, saat ini bangunan itu sudah banyak perubahan dan renovasi untuk menunjukkan identitas musala. Hanya dinding dan lantai yang masih asli, ditambah dengan bentuk bangunan yang tidak banyak diubah. Di samping langgar, ada bangunan tua seperti garasi. Tapi sudah dirobohkan.
Manto, salah satu sesepuh Desa Kertajaya menuturkan, markas itu dibangun sekitar tahun 1830 dan dijadikan tempat berkumpul dan pesta para Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) saat menjajah bumi Pekalongan.
Manto menyebut, bagi masyarakat sekitar bangunan tua itu memang memiliki daya magis tersendiri. Sebelum difungsikan sebagai tempat ibadah, di area bangunan sering terdengar suara-suara merintih kesakitan.
"Juga sering terdengar suara tembakan. Itu dulu waktu belum menjadi musala," ujar Manto yang juga imam musala kepada VIVA belum lama ini.
Dahulunya wilayah Desa Kertajaya, merupakan kebun bambu milik masyarakat setempat. Kemudian dirampas penjajah. Termasuk bangunan langgar markas yang dijadikan markas Belanda untuk menghimpun kekuatan.
Sementara itu, menurut Falah Nashir, seorang pegiat sejarah kolonial di Pekalongan, pada awal-awal menjadi musala, jemaah yang salat di tempat itu tak pernah lebih dari satu saf (baris).
Karena, warga yang sedang beribadah sering dibuat tidak khusyuk. Sebab sering mendengar suara-suara jeritan. Namun seiring berjalan dan banyaknya kegiatan ibadah seperti maulid nabi, tahlil dan lain-lain, suara itu pun sirna.
"Warga sekarang sudah tidak takut dan adem di musala ini, " katanya.
Falah mengatakan, dahulunya bangunan ini dijadikan tempat penyiksaan pribumi yang mbalelo (membangkang). Sebelum dijadikannya tempat ibadah, tempat itu dihuni keluarga Mayon Hadi, seorang mantan tentara Indonesia.
Namun anehnya, keluarga militer ini menghilang secara tragis. Garis keturunan Mayon Hadi sudah hilang. Anak-anaknya meninggal dunia secara tragis, ada yang tertabrak kereta, kecelakaan lalu lintas dan bunuh diri.
"Konon Mayon Hadi tak betah tinggal di sini. Apalagi di sini kala itu jauh dari keramaian dan sepi. Atas kesepakatan warga, tanah ini diurus dan dijadikan musala agar ramai dan padang (terang)," kata Falah.
Komentar
Posting Komentar