Ada sesuatu hal yang tidak dapat dihitung secara matematika dan dikalkulasi secara ekonomi. Apakah sesuatu itu? Tanyaku kepada Narita Sartika, 39 tahun,paranormal asal tarakan, Kalimantan Utara, pekan lalu di Bontang Kuala, Bontang, Kalimantan Timur.
Oleh : Yudhistira Manaf
Narita Sartika sengaja datang ke Bontang, jauh-jauh dari Tarakan untuk bertemu paranormal pria, temanku, Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro, dukun sakti asal Yogyakarta yang berlanglang buana
ke seluruh nusantara untuk mengasah ilmu gaibnya. Hari itu, mereka samasama datang dari jauh ke Bontang, hanya untuk melakukan perkawinan gaib. Apa perkawinan gaib itu? Di bawah ini cerita tentang mereka. Dua dukun sakti dalam satu cinta abadi.
Gaib ginaib, sesuatu pesona supramistika alam semesta yang terjaga apik dan rapih oleh Yang Punya, Yang Menciptakan, yang hadir dan dihadirkan oleh Allah Yang Maha Besar ke tengah manusia. Banyak manusia dunia mengatakan hal itu ada, tetapi tidak banyak yang merengkuh dan mendalaminya, yang mampu menapakinya dan hidup nikmat di dalamnya.
“Nah, maaf, akulah itu. Aku sudah menjadi satu dari yang sedikit itu, yang mampu menikmati sesuatu yang irasional kata banyak orang, tetapi aku hanyut dan bahagia di dalamnya. Nikmat di dalam kehidupan indigo dan supramistika yang damai nan anggun,” tukas Narita Sartika, kepadaku, di atas laut Bontang Kuala, Selat Makasar, Bontang, kalimantan Timur.
Selamat tinggal alam nyata. Goodbye dunia zohir dan Narita Sartika segera pergi ke alam ginaib. Alam antaberantah, katakanlah begitu, yang ada tetapi tiada.
Yang tiada tetapi ada. Alam astral yang tak nampak oleh mata biasa, tapi nampak dari mata batin pelakunya. Alam putih dan sunyi bersama makhluk-makhluk halus, tidak kasat mata ciptaan Allah Azza Wajalla. Alam
“kegilaan” bagi awam, namun alam biasa bagi para paranormal. Alam sinting bagi umum, alam normal bagi para cenayang. “Namun, pada alam putih kosong itu, sebenarnya ada dan hanya bebera ratus orang mengetahuinya. Suatu alam yang dinamakan astral. Alam ginaib yang sebenarnya zohir, yang bisa aku masuki dan aku jelajahi. Keluargaku menentang dan mencibir, mencemooh, tetapi aku bersedih.
Kenapa bersedih? Karena aku kasihan kepada mereka yang buta, yang awam dan tidak tahu alam sesungguhnya yang aku masuki. Aku, diciptakan Tuhan, melebihi ratarata. Seseorang yang nyata dan ternyata, setelah aku dalami, mempunyai indera ke enam yang super tajam. Indera indigo, yang
mampu melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang umum. Yang mampu menapaki dunia lain, dimensi unik yang tak dimasuki oleh dimensi umum. Itulah, alamku, dan aku ada di sana, menunggu kiamat tiba. Yang kelak, akan hadir di pengadilan alam kiamat, menunggu hasil timbangan, baik buruk, dan mengantri untuk masuk sorga Allah Azza Wajalla yang abadi,” desis Narita Sartika, kepadaku, dengan tatapan matanya yang tajam setajam burung elang.
Beberapa saat setelah berbincangbincang denganku. Sesaat setelah wawancara denganku, Narita Sartika mengalihkan pandangnya kepada pria tampan di sebelahku. Pria tampan yang aku maksudkan, adalah, dukun sakti mandraguna, Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro yang mensponsori aku datang dari Jakarta untuk menyaksikan mereka melakukan pernikahan gaib.
“Kau serius mau menikahi aku Mas?” tanya Narita Sartika tiba-tiba kepada Kanjeng Sultan Sujiwo Hendro, 54 tahun, paranormal sangat mumpuni, yang praktek di SangaSanga, Samarinda, Kalimantan Timur.
Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro, berada di sebelahku dan dialah yang mengajak aku melakukan perjalanan spiritual ke Bontang, menaklukkan raja buaya putih, buaya muara di Bontang Kuala, Satimpo, Bontang Utara.
Aku dikirimi tiket pesawat dari Jakarta ke Bontang dan Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro menunggu aku di bandara Balikpapan, Kalimantan Timur. Setelah itu, aku dibawa dengan mobil Kijang Inova warna hitam melewati Bukit Soeharto lalu melesat selama empat jam ke Bontang, dengan melewati rumah Kanjeng Sulton di Sanga-Sanga, dekat Expan, perusahaan minyak Pertamina di tepi Sungai Mahakam.
“Ya, tentu saja saya serius Narita Kartika. Demi Tuhan, aku serius, kenapa tidak?” ungkap Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro, menjawab pertanyaan Narita Kartika, yang tidak segan-segan membicarakan pribadi itu, di dekatku.
Mulanya aku agak canggung mendengarkan mereka bicara. Namun, setelah sadar bahwa mereka adalah para cenayang, paranormal, maka, aku pun dapat memahami hal itu dan tetap diam di tempat.
“Kau telah punya tiga istri, dari tiga istri itu kau telah mempunyai anak sembilan belas orang. Bahkan sebagian besar anakmu masih balita, apakah kau tidak memikirkan tiga istri dan kesembilan belas anakmu itu, untuk menikahi aku, Mas? Bagaimana tentang biaya pendidikan mereka, biaya hidup mereka dan masa depannya?” sorong Narita Sartika, acuh tak acuh.
“Rejeki Allah yang mengatur, manusia hanya berkewajiban ikhtiar dan berdoa. Rejeki dan masa depan semua umat manusia, termasuk aku, kau dan semua keluargamu, sudah tertulis di arash-Nya Allah, di Lauhul Mahfuz, dan semua itu takkan tergeser kecuali dengan kehendak Allah Azza Wajalla,” desisnya, nyantai, di sebuah rumah makan tradisional Bontang Kuala, perkampungan sunyi di Pagedangan Laut, Bontang Utara, berhadap-hadapan.
Oleh : Yudhistira Manaf
Narita Sartika sengaja datang ke Bontang, jauh-jauh dari Tarakan untuk bertemu paranormal pria, temanku, Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro, dukun sakti asal Yogyakarta yang berlanglang buana
ke seluruh nusantara untuk mengasah ilmu gaibnya. Hari itu, mereka samasama datang dari jauh ke Bontang, hanya untuk melakukan perkawinan gaib. Apa perkawinan gaib itu? Di bawah ini cerita tentang mereka. Dua dukun sakti dalam satu cinta abadi.
Gaib ginaib, sesuatu pesona supramistika alam semesta yang terjaga apik dan rapih oleh Yang Punya, Yang Menciptakan, yang hadir dan dihadirkan oleh Allah Yang Maha Besar ke tengah manusia. Banyak manusia dunia mengatakan hal itu ada, tetapi tidak banyak yang merengkuh dan mendalaminya, yang mampu menapakinya dan hidup nikmat di dalamnya.
“Nah, maaf, akulah itu. Aku sudah menjadi satu dari yang sedikit itu, yang mampu menikmati sesuatu yang irasional kata banyak orang, tetapi aku hanyut dan bahagia di dalamnya. Nikmat di dalam kehidupan indigo dan supramistika yang damai nan anggun,” tukas Narita Sartika, kepadaku, di atas laut Bontang Kuala, Selat Makasar, Bontang, kalimantan Timur.
Selamat tinggal alam nyata. Goodbye dunia zohir dan Narita Sartika segera pergi ke alam ginaib. Alam antaberantah, katakanlah begitu, yang ada tetapi tiada.
Yang tiada tetapi ada. Alam astral yang tak nampak oleh mata biasa, tapi nampak dari mata batin pelakunya. Alam putih dan sunyi bersama makhluk-makhluk halus, tidak kasat mata ciptaan Allah Azza Wajalla. Alam
“kegilaan” bagi awam, namun alam biasa bagi para paranormal. Alam sinting bagi umum, alam normal bagi para cenayang. “Namun, pada alam putih kosong itu, sebenarnya ada dan hanya bebera ratus orang mengetahuinya. Suatu alam yang dinamakan astral. Alam ginaib yang sebenarnya zohir, yang bisa aku masuki dan aku jelajahi. Keluargaku menentang dan mencibir, mencemooh, tetapi aku bersedih.
Kenapa bersedih? Karena aku kasihan kepada mereka yang buta, yang awam dan tidak tahu alam sesungguhnya yang aku masuki. Aku, diciptakan Tuhan, melebihi ratarata. Seseorang yang nyata dan ternyata, setelah aku dalami, mempunyai indera ke enam yang super tajam. Indera indigo, yang
mampu melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang umum. Yang mampu menapaki dunia lain, dimensi unik yang tak dimasuki oleh dimensi umum. Itulah, alamku, dan aku ada di sana, menunggu kiamat tiba. Yang kelak, akan hadir di pengadilan alam kiamat, menunggu hasil timbangan, baik buruk, dan mengantri untuk masuk sorga Allah Azza Wajalla yang abadi,” desis Narita Sartika, kepadaku, dengan tatapan matanya yang tajam setajam burung elang.
Beberapa saat setelah berbincangbincang denganku. Sesaat setelah wawancara denganku, Narita Sartika mengalihkan pandangnya kepada pria tampan di sebelahku. Pria tampan yang aku maksudkan, adalah, dukun sakti mandraguna, Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro yang mensponsori aku datang dari Jakarta untuk menyaksikan mereka melakukan pernikahan gaib.
“Kau serius mau menikahi aku Mas?” tanya Narita Sartika tiba-tiba kepada Kanjeng Sultan Sujiwo Hendro, 54 tahun, paranormal sangat mumpuni, yang praktek di SangaSanga, Samarinda, Kalimantan Timur.
Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro, berada di sebelahku dan dialah yang mengajak aku melakukan perjalanan spiritual ke Bontang, menaklukkan raja buaya putih, buaya muara di Bontang Kuala, Satimpo, Bontang Utara.
Aku dikirimi tiket pesawat dari Jakarta ke Bontang dan Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro menunggu aku di bandara Balikpapan, Kalimantan Timur. Setelah itu, aku dibawa dengan mobil Kijang Inova warna hitam melewati Bukit Soeharto lalu melesat selama empat jam ke Bontang, dengan melewati rumah Kanjeng Sulton di Sanga-Sanga, dekat Expan, perusahaan minyak Pertamina di tepi Sungai Mahakam.
“Ya, tentu saja saya serius Narita Kartika. Demi Tuhan, aku serius, kenapa tidak?” ungkap Kanjeng Sulton Sujiwo Hendro, menjawab pertanyaan Narita Kartika, yang tidak segan-segan membicarakan pribadi itu, di dekatku.
Mulanya aku agak canggung mendengarkan mereka bicara. Namun, setelah sadar bahwa mereka adalah para cenayang, paranormal, maka, aku pun dapat memahami hal itu dan tetap diam di tempat.
“Kau telah punya tiga istri, dari tiga istri itu kau telah mempunyai anak sembilan belas orang. Bahkan sebagian besar anakmu masih balita, apakah kau tidak memikirkan tiga istri dan kesembilan belas anakmu itu, untuk menikahi aku, Mas? Bagaimana tentang biaya pendidikan mereka, biaya hidup mereka dan masa depannya?” sorong Narita Sartika, acuh tak acuh.
“Rejeki Allah yang mengatur, manusia hanya berkewajiban ikhtiar dan berdoa. Rejeki dan masa depan semua umat manusia, termasuk aku, kau dan semua keluargamu, sudah tertulis di arash-Nya Allah, di Lauhul Mahfuz, dan semua itu takkan tergeser kecuali dengan kehendak Allah Azza Wajalla,” desisnya, nyantai, di sebuah rumah makan tradisional Bontang Kuala, perkampungan sunyi di Pagedangan Laut, Bontang Utara, berhadap-hadapan.
Komentar
Posting Komentar