BELANJA


Misteri Teriakan Pedih di Bekas Rumah Bordir Terkuak

  

Rumah tua itu angker. Semua warga sini udah tahu semua, Mas. Tapi juga bersejarah,” kata lelaki yang mengaku bernama Prapto (45) kepada NNC, Senin (27/8/2018). Pemilik warung kelontong tidak jauh dari gedung itu, sudah berulang kali menjumpai orang yang bertanya soal gedung tersebut.

“Banyak warga yang mengaku mendengar suara wanita berteriak, menjerit, menangis. Ya, maklum, namanya juga tempat penyiksaan. Banyak orang pernah disiksa di situ, Mas. Apalagi zaman Jepang. Tak sanggup saya menceritakan,” kata Prapto sambil menyarankan penulis mendatangi gedung itu.

Berbekal sepenggal keterangan Prapto, penulis memberanikan diri memasuki area gedung yang memang terlihat angker. Arsitektur Belanda masih sangat terasa. Atapnya yang datar memang mewakili sebutan yang banyak disematkan warga sekitar, yaitu Gedung Papak, artinya “rata”.

Berdasarkan keterangan Soekiran (61), penjaga gedung, luas gedung tersebut sekitar 338,5 meter persegi. Lokasinya terletak di Desa Geyer, Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Walaupun kurang terawat, gedung ini telah tercatat sebagai bangunan cagar budaya Kabupaten Grobogan. Saat masuk ruangan, udara terasa pengap, tembok kusam, dan banyak sarang laba-laba. Penulis berpikir, bila dirawat gedung ini bisa menjadi museum atau objek wisata sejarah.

Gedung itu memiliki dua lantai dan masing-masing memiliki dua ruangan yang luas. Tak banyak isi perabotan yang ada dalam gedung itu, yang ada hanyalah beberapa perlengkapan pribadi milik Soekiran.

Saksi bisu penyiksaan dan perbudakan seks
Berdasar keterangan Soekiran dan catatan sejarah peneliti independen Jugun Ianfu bernama Eka Hendra, yang pernah diterbitkan dalam Majalah More edisi April 2012 berjudul “Nyah Kran Tawanan di Gedung Papak”, kisah di balik keangkeran gedung ini dapat kita ketahui secara gamblang.

Gedung Papak adalah salah satu saksi bisu praktik kekejaman di era pendudukan Jepang. Dalam kajiannya, Hendra berhasil mewawancarai seorang penyintas atau korban praktik Jugun Ianfu yang masih hidup hingga kini. Ia biasa dipanggil Mbah Sri.

Saat Mbah Sri masih berumur sembilan tahun, ia biasa dipanggil “Nyah Kran”, karena postur tubuh dan wajahnya yang cantik dan kebelandaan. Namun, justru karena kecantikannya itu, malapetaka merenggut masa kecilnya.

Walaupun Nyah Kran adalah anak seorang Wedana Purwadadi bernama Soedirman, namun tak mampu menghalangi kesewenangan tentara Jepang. Menjelang kekalahan Jepang pada 1945, Wedana Soedirman tak kuasa menghalangi opsir Jepang merenggut anaknya yang masih belia itu.

Nyah Kran kemudian dibawa ke Gedung Papak. "Saya kenal gedung itu, karena satu-satunya gedung Belanda yang ditempati sebagai rumah tinggal Kepala Stasiun Gundih, orang Belanda yang memiliki seorang anak dengan perempuan Jawa asal Purwodadi," kenang Mbah Sri sambil berlinang air mata.

Opsir yang merampas Nyah Kran dari orang tuanya bernama Ogawa. Ia termasuk tentara berpangkat, karena memiliki banyak bawahan yang bermarkas di gedung itu. Nyah Kran berada dalam belenggunya.

Setelah dimandikan, dikeramasi, dan didandani seperti boneka, malam hari setelah berada di Gedung Papak, Nyah Kran atau Sri kecil dipaksa melayani nafsu bejat Ogawa hingga dini hari. Perbuatan keji itu dilakukan beberapa hari hingga Nyah Kran mengalami pendarahan hebat dan pembengkakan pada alat vitalnya.

Di gedung itu, Nyah Kran juga menjadi saksi mata perempuan lain yang direnggut dan harus melayani banyak opsir Jepang. Nyah Kran masih beruntung, karena hanya melayani Ogawa yang senantiasa menguncinya dalam kamar. Hari-hari pedih dan suram itu harus ia jalani hingga Jepang menyerah.

Saat Jepang kalah, Nyah Kran dikembalikan Ogawa kepada orang tuanya. Ogawa kemudian lenyap dari kehidupannya seiring kedatangan Sekutu dan era kemerdekaan. Namun derita dan beban mental yang dialami Nyah Kran tidak bisa terusir dari hidupnya, hingga masa tuanya.

Cerita Selengkapnya : Klik Disini 

Komentar